Jakarta - Saat ini perceraian di usia 20-an telah menjadi momok tersendiri bagi para wanita muda, dimana mereka harus menjelaskan perubahan status sosial dan pertanyan cemas dari keluarga mengenai keretakan pernikahan tersebut. Para wanita muda yang bercerai ini biasanya juga akan menerima perkataan seperti, "aku turut menyesal" atau "apa yang terjadi?". Perkataan itu, meski sebenarnya bermaksud simpati, bisa menambah beban pikiran mereka yang juga harus siap mendengar omongan tidak sedap dari lingkungan sekitar.
Joelle Caputa penulis buku "Trash the Dress: Stories of Celebrating Divorce in your 20s" melihat perceraian yang terjadi pada rumah tangga seorang wanita berusia 20-an disebabkan karena empat faktor. Empat faktor ini didapat Joelle dari hasil wawancaranya dengan banyak wanita yang ia lakukan untuk keperluan penulisan bukunya tersebut. Berikut keempat faktor itu, seperti dikutip Huffington Post:
1. Menikah Hanya Karena Merasa Nyaman
Ketika seorang wanita muda mengucapkan janji pernikahan, hal pertama yang ingin ia dapatkan dari pernikahan tersebut adalah rasa nyaman. Madison (29 tahun), seorang akuntan wanitas asal New Jersey mengakui bahwa ia menikah dengan mantan suaminya bukan karena cinta mati, tapi lebih pada kenyamanan dan keamanan.
Ketika memutuskan menikah, ia merasa sangat percaya diri karena bisa mempertahankan hubungannya dengan sang mantan suami dalam jangka panjang di usianya yang masih belia. Sehingga tidak mengherankan jika saat itu, Madison berpikir langkah selanjutnya dari hubungan asmaranya itu adalah menikah.
Namun ternyata setelah menjalani pernikahan, kenyamanan saja tidak cukup menjadi alasan untuk seorang wanita naik pelaminan dengan seorang pria. Akhirnya Madison pun bercerai dari mantan suaminya itu.
2. Kenangan Masa Lalu
Beberapa hubungan pernikahan juga bisa gagal karena kenangan masa lalu ini. Misalnya saja kisah Tara (26 tahun), seorang wanita asal North Carolina yang mengaku bahwa ia menikahi mantan suaminya hanya karena mereka berdua memiliki keadaan finansial yang stabil dan percaya bisa membangun kehidupan yang baik. Saat itu Tara mencintai mantan suaminya, namun tidak yakin seberapa besar rasa cintanya tersebut.
Ketidakyakinan itu karena Tara merasa ia tidak bisa jatuh cinta lagi sejak mengakhiri hubungannya dengan mantan kekasihnya semasa kuliah. Tara bahkan sempat bertunangan dengan pria tersebut. Namun si pria minta hubungan asmara itu diakhiri saat ia mengaku terkena kanker.
"Aku tidak pernah berpikir ada orang lain yang bisa membuatku merasa seperti itu lagi. Jadi aku menyimpan memori itu dan memberikan diriku pada orang lain yang aku merasa nyaman saat menjalani hubungan dengannya," kisahnya.
3. Menikah Untuk Memperbaiki atau Mengubah Sesuatu
Tidak benar bahwa sebuah pernikahan dapat memperbaiki sesuatu. Salah satu responden di dalam buku Joelle, Casey mengatakan mantan suaminya adalah sosok yang 'belum dewasa'. Ia pun setuju untuk menikah dengan harapan dapat mendewasakan pria tersebut.
"Aku pikir dengan menikah bisa memperbaiki hal itu," katanya. Nyatanya, setelah menikah, Casey tetap memiliki suami yang tak dapat mengubah sikap 'belum dewasanya'.
4. Kurang Percaya Diri
Salah satu responden Joelle bernama Kim, menikah hanya karena ia takut tidak bisa mendapatkan laki-laki. "Aku baru saja mengalami penurunan berat badan karena operasi baypass lambung dan tidak merasa senang dengan penampilanku. Dia (mantan suaminya) bilang aku tidak bisa lebih baik dan aku percaya padanya," tutur Kim.
Kurangnya rasa percaya diri pada saat itu memaksa Kim untuk menikahi mantan suaminya walaupun ia menyadari bahwa pria tersebut bukanlah belahan jiwanya dan juga bukan ayah yang diharapkan bagi anak-anaknya.
Tidak ada yang bisa disalahkan dari gagalnya hubungan pernikahan, karena tentunya sebuah pernikahan dilangsungkan tanpa ada niat untuk berpisah. Anggaplah perceraian di usia belia ini adalah salah satu dari proses pendewasaan, dan tentu saja banyak sekali pelajaran yang dapat diambil oleh semua wanita di luar sana agar menjadi sosok yang lebih kuat dan mandiri.
0 komentar:
Posting Komentar