Apa yang Terjadi pada Dirimu di Internet Setelah Kau Meninggal?
MARI rehat sejenak dari hiruk pikuk membicarakan Syahrini maupun Raffi Ahmad dan Yuni Shara yang break. Mari membicarakan kita. Nasib kita.
Terutama nasib kita di dunia maya.
Sabtu (3/12) sore kemarin saya menerima kabar duka. Seorang rekan wartawan Media Indonesia, Eri Anugerah meninggal dunia saat tugas meliput ke Pulau Umang. Ucapan duka bertebaran di Blackberry Messanger, akun Twitter dan akun Facebook almarhum.
Kehilangan seorang rekan tak hanya membuat kita yang ditinggalkan makin meyakini betapa hidup di dunia fana, tapi buat saya tergelitik memikirkan, jika meninggal bagaimana nasib saya di dunia maya.
Apa yang terjadi pada Facebook saya, Twitter saya, blog saya, foto-foto atau tulisan-tulisan saya yang terdapat di dunia maya?
***
Misalnya, amit-amit, usai membaca artikel ini, tiba-tiba Anda tersungkur jatuh kena serangan jantung lalu tak berapa lama kemudian Anda meninggal,ada di antara Anda yang mungkin telah menyiapkan segalanya bagi orang yang ditinggalkan.
Ada mungkin di antara Anda yang sudah menulis surat warisan, akan diserahkan pada siapa saja harta benda yang Anda tinggalkan. Atau, bagi yang belum sempat menulis surat warisan, simpanan Anda di bank tentu sudah Anda siapkan untuk boleh diambil oleh ahli waris karena saat mengisi formulir membuka rekening, ada kolom isian itu yang harus Anda isi.
Tapi, saya yakin, tak banyak dari kita yang memikirkan untuk mengurus apa yang kita tinggalkan di dunia maya, akun Facebook berisi status-status konyol, catatan curhat, dan foto-foto; kicauan sedang makan anu di sana-sini, kultwit iseng di kala senggang, atau sumpah serapah di Twitter; segala ulasan film atau review buku di blog; posting thread dan komentar di forum-forum; atau video karya kita di You Tube.
Twitter dan Facebook memiliki aturan bagaimana menangani penggunanya yang sudah tiada.
Ambil contoh Twitter. Situs microblogging ini akan melakukan tindakan pada akun yang pemiliknya sudah tiada setelah mendapat kabar dari pihak yang berkepentingan dengan akun itu.
Berikut langkah-langkah yang harus ditempuh yang ditetapkan Twitter:
1. Seseorang harus mengabarkan ke Twitter kalau pemilik akun anu sudah meninggal. Jika Anda yang bertugas mengabarkan ke Twitter, Anda harus menyebut nama lengkap dan kontak detil Anda, serta hubungan Anda dengan almarhum/almarhumah.
2. Username pengguna Twitter yang meninggal, atau link ke profile page Twitter yang meninggal.
3. Sertakan link ke halaman obituari almarhum/almarhumah atau berita kematiannya.
Dari situ, Twitter akan memutuskan tindakan, yang tentu harus disetujui dahulu, untuk mematikan akun Twitter-nya atau menyediakan halaman arsip agar keluarga, kawan, bisa mengenangnya secara offline.
Facebook lebih dulu dari Twitter memiliki kebijakan menangani penggunanya yang sudah tiada. Setelah Facebook dikabari penggunanya sudah meninggal (dengan mengisi formulir ini) Facebook memiliki dua opsi: mematikan akun itu atau membuatnya menjadi halaman “kenangan”. Beda dengan Twitter, halaman “kenangan” masih berada dalam jejaring Facebook dan setiap kawan Facebook almarhum masih bisa berinteraksi melihat-lihat dinding akun Facebook-nya.
Diperkirakan, setiap tahun sebanyak 375 ribu pemilik akun Facebook di AS meninggal. Artinya, persoalan warisan yang ditinggalkan di dunia maya bukan hal sepele. Apa yang kita tinggalkan di dunia maya memunculkan masalah dan perdebatan yang ramai.
Kini mulai banyak yang memikirkan bagaimana mengatur hidup seseorang yang sudah meninggal di dunia maya.
Akademisi mulai mengangkat masalah ini menjadi wacana yang hangat (bagaimana manusia akan dikenang setelah tiada? Apa setiap hal soal almarhum di dunia maya dibiarkan apa adanya, atau bagian-bagian yang tercela [foto sedang mabuk di klub, misalnya] boleh dihapus?), konsultan dan pakar sosial-media mulai membincangkan berbagai implikasinya (apa dampak legal dari yang ditinggalkan di dunia maya? Siapa yang berhak atas Twitter, Facebook, atau blog orang yang sudah meninggal? Keluarganya? Kawan-kawannya? Follower-nya? Atau penggemar tulisan-tulisan blognya?), bahkan sudah ada yang mencari peluang bisnis dari kehidupan digital pasca meninggal.
***
Saya ingin bercerita kisah Mac Tonnies, seorang blogger, meninggal 2009, yang kisahnya saya dapat dari tulisan panjang Rob Walker bertajuk “Cyberspace When You’re Dead” di New York Times Magazine (5/1/2011).
Pada 18 Oktober 2009, Mac Tonnies meng-update blognya, berkicau di Twitter dan berkirim pesan via Twitter ke kawan-kawannya. Tonnies kemudian berangkat tidur dan meninggal karena serangan jantung. Kematiannya mengagetkan karena tak ada yang tahu ia punya gejala gangguan jantung. Usianya saat meninggal baru 34 tahun.
Tonnies tinggal di Kansas City. Single dan tak punya anak, punya 2 kucing dan bekerja sehari-hari di Starbucks sambil kerja sambilan jadi telemarketing untuk sebuah agensi kecil. Tonnies juga menulis (ia baru saja menyelsaikaan menulis manuskrip buku ketiganya). Penggemarnya lumayan dan setia. Tonnies, yang memulai blog Posthuman Blues di tahun 2003, pengguna internet yang aktif dan menjalin pertemanan dengan banyak orang yang tak pernah ia jumpai secara fisik.
Tonnies punya orangtua yang baik, Dana dan Bob Tonnies. Mereka sempat minum kopi bareng putra semata wayangnya itu—kebiasan rutin saban Minggu—di hari ia kena serangan jantung. Walau hubungan mereka dekat, orangtua Tonnies hanya sedikit bersentuhan dengan kehidupan putranya di dunia maya. Bahkan orangtuanya tak punya komputer.
Kawan-kawan Tonnies di dunia maya kemudian menyelamatkan apa yang diwariskan Tonnies di internet. Blog Tonnies, Posthuman Blues diselamatkan. Seorang kawan Tonnies, Mark Plattner, meggunaakaan software Sitesucker untuk mem-back-up semua data di blog Tonnies—gambar, video, tulisan, termasuk tautan (link)—ke dalam sebuah hard drive. Plattner menyimpan 10 giga data Tonnies.
Cerita Tonnies adalah sebuah kisah sukses bagaimana seseorang yang sudah tiada dilestarikan di internet. Ada kisah lain.
Leslie Harpold, seorang blogger yang lumayan tenar meninggal tiba-tiba pada 2006. Seperti banyak orang, Harpold tak mewariskan maupun mengatakan bagaimana hasil kerjanya di dunia maya dilestarikan. Keluarga Harpold kemudian memutuskan menutup website Harpold dan menghilangkan semua hasil kerjanya dari para penggemar blognya. Hal ini amat disayangkan penggemar Harpold.
Sebetulnya tak perlu jauh-jauh membayangkan kehidupan kita di dunia maya setelah kita meninggal. Anggapan bahwa internet adalah abadi tak sepenuhnya benar. Tengok saja akun Friendster kita. Setelah Friendster tamat—karena kita ramai-ramai pindah ke Facebook—apa yang kita tinggalkan di Friendster itu tak bisa kita lihat lagi. Kita tak bisa lagi melihat testimoni teman-teman kita soal pribadi kita.
Situs-situs lahir dan mati. Seseorang pernah memperkirakan, dari seluruh situs yang lahir hampir setengahnya mati atau hilang setahun kemudian. Saat ini kita bersandar pada Facebook untuk merawat sisi virtual diri kita. Tapi, bagaimana jadinya bila Facebook riwayatnya tamat?
Saya punya blog di blogspot.com sejak 2006 yang tak saya urus lagi. Blog itu ada hingga kini mungkin karena perusahaan induk semangnya masih ada (Blogspot dimiliki Google). Saya tak tahu bila suatu saat nanti Google menutup Blogspot.
***
Pada akhirnya, yang paling baik adalah menyiapkan segalanya. Kehidupan kita di dunia maya, seperti halnya kehidupan di dunia nyata, harus direncanakan dari A sampai Z.
Mulai sekarang, kita, ya Anda dan saya, betapa pun janggal rasanya memikirkan kita akan mati sebentar lagi, harus memikirkan akan dikenang seperti apa di dunia maya.***